Berbicara mengenai konsep / pengertian dari keadilan (adil), akan banyak sekali literatur ataupun pendapat yang akan menjelaskan keadilan dari berbagai sudut pandang, maupun dari berbagai latar belakang pendidikan. Berikut adalah pendapat dari KH. Abdurahman wahid yang dikutip dari artikel Yayasan Paramadina. Beliau membahas konsep keadilan ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam al-Qur'an. Dalam pembahasananya beliau mengatakan Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).
Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan ("Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan"). Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.
Senada dengan pendapat Gusdur di atas berikut adalah kutipan dari internet mengenai Pengetahuan Emosional yang diakses dari situs www.Google.com
Keadilan adalah salah satu syarat ketaqwaan yang merupakan inti iman.
اعدلوا هو اقرب للتقوى
(Berlakulah adil, karena ia paling dekat dengan takwa).
Secara kebahasaan Al-Adl dapat diartikan sebagai keseimbangan. Secara keagamaan ia diartikan sebagai ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’. Kata al-adl dalam fiqh diganti dengan al-‘adalah, yaitu daya psikologis yang menolak perbuatan buruk dan mendorong perbuatan baik. Secara umum, keadilan, sebagai pasangan afirmatif kezaliman, dapat pula dibagi dua; keadilan intelektual (konseptual, teoritis)l dan keadilan aktual.
Keadilan intelektual (al-‘adl al-fikri) Keadilan intelektual adalah meletakkan keyakinan pada tempat yang benar salah atau meyakini sesuatu secara proporsional. Seseorang yang berani menyatakan sesuatu sebagai benar karena secara objektif memang benar atau salah secara, bukan karena pertimbangan subjektif dan tendensial lain adalah orang yang berlaku adil secara intelektual.
Keadilan intelektual dapat pula dibagi, berdasarkan nilai sesuatu yang diyakininya, sebagaimana kezaliman intelektual yang telah disebutkan sebelumnya.
Keadilan aktual (al-‘adl al-‘amali). Keadilan aktual adalah meletakkan suatu perbuatan pada tempat yang layak. Apabila kita melakukan perbuatan baik atau yang layak dilakukan (fisikal maupun non fisikal), maka berarti kita telah berlaku adil secara faktual dan praktis dan perbuatan kita termasuk keadilan praktis. Keadilan aktual dapat pula dibagi dua, berdasarkan sasarannya;
Keadilan subjektif.
Yaitu perbuatan sempurna terhadap diri sendiri. Menurut para irfan nazhari, seseorang yang melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh adalah orang yang berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Ia disebut adil karena memeperlakukan dirinya secara proporsional dan baik. Semua perbuatan baik, berdimensi legal dan berdimensi moral, adalah keadilan terhadap diri (pelaku sendiri). Seseorang yang berlaku dan bersikap adil terhadap diri akan berpeluang untuk berlaku adil terhadap selain dirinya.
Keadilan objektif.
Yaitu perbuatan sempurna terhadap selain diri sendiri. Segala sesuatu di luar subjek atau diri kita masing-masing adalah alam yang dapat dibagi berdasarkan entitas-entitas (maujud-maujud) yang ada di dalamnya. Ia dapat dibagi sebagai berikut:
ü Berlaku adil terhadap benda-benda molekuler, berupa air, batu dan gas atau oksigen, dengan cara tidak mencemari udara, tidak merusak sarana umum, tidak memproduksi peralatan berbahaya, senjata nuklir, kimia, bakteri dan sebagainya.
ü Berlaku adil terhadap benda-benda berkembang, seperti rumput, pohon, buah dan rumput, dengan cara tidak melakukan penebangan liar, penggundulan hutan yang merupakan paku alam, merawat bunga dan sebagainya.
ü 3Berlaku adil terhadap benda-benda berperasaan, dengan cara tidak melakukan perburuan liar, melindungi satwa langka dari kepunahan, tidak menggunakan alat pembunuh massal seperti bom untuk menangkap ikan, dan tidak membunuh binatang hanya untuk kesenangan dan hobi dan sebagainya sebagainya.
ü Berlaku adil terhadap manusia, yang lazim disebut dengan keadilan sosial, dengan cara setiap anggota masyarakat melaksanakan kewajiban individual serta menjaga hak sesama dengan mematuhi syareat Allah SWT.
Sebenarnya keadilan objektif sosial dapat dibagi berdasarkan tingkatan himpunannya sebagai berikut :
· Keadilan sosial dalam rumah tangga, seperti antara suami dan isteri, orang tua dan anak, antar orang tua dan antar anak sendiri;
· Keadilan sosial dalam lingkungan kerja atau pabrik atau perusahaan, seperti antara majikan dan buruh, antara pimpinan dan pegawai, antar atasan dengan yang di bawahnya dan antar pegawai atau buruh sendiri;
· Keadilan sosial dalam pemerintahan, seperti antara penguasa dan rakyat, antar pejabat tinggi dan yang di bawahnya, antar pejabat tinggi dan antar pegawai pemerintah sendiri, antar sesama individu rakyat sendiri.
Apabila kita telah berlaku adil dalam segala dimensinya, maka peluang kita untuk meraih pengetahuan emosional, yang merupakan puncak dari kesusksesan hakiki manusia, makin lebar. Apabila masing-masing dari individu masyarakat tidak berlaku adil, maka ‘keadilan sosial’ hanyalah sebuah jargon yang tidak akan pernah dapat dirasakan.
Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan al-Qur'an agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesame warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya. Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing.
Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau sisi keadilan oleh al-Qur'an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural.
Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu, Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur'an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah legal-formalistik.
Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan ("Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan"). Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.
Senada dengan pendapat Gusdur di atas berikut adalah kutipan dari internet mengenai Pengetahuan Emosional yang diakses dari situs www.Google.com
Keadilan adalah salah satu syarat ketaqwaan yang merupakan inti iman.
اعدلوا هو اقرب للتقوى
(Berlakulah adil, karena ia paling dekat dengan takwa).
Secara kebahasaan Al-Adl dapat diartikan sebagai keseimbangan. Secara keagamaan ia diartikan sebagai ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’. Kata al-adl dalam fiqh diganti dengan al-‘adalah, yaitu daya psikologis yang menolak perbuatan buruk dan mendorong perbuatan baik. Secara umum, keadilan, sebagai pasangan afirmatif kezaliman, dapat pula dibagi dua; keadilan intelektual (konseptual, teoritis)l dan keadilan aktual.
Keadilan intelektual (al-‘adl al-fikri) Keadilan intelektual adalah meletakkan keyakinan pada tempat yang benar salah atau meyakini sesuatu secara proporsional. Seseorang yang berani menyatakan sesuatu sebagai benar karena secara objektif memang benar atau salah secara, bukan karena pertimbangan subjektif dan tendensial lain adalah orang yang berlaku adil secara intelektual.
Keadilan intelektual dapat pula dibagi, berdasarkan nilai sesuatu yang diyakininya, sebagaimana kezaliman intelektual yang telah disebutkan sebelumnya.
Keadilan aktual (al-‘adl al-‘amali). Keadilan aktual adalah meletakkan suatu perbuatan pada tempat yang layak. Apabila kita melakukan perbuatan baik atau yang layak dilakukan (fisikal maupun non fisikal), maka berarti kita telah berlaku adil secara faktual dan praktis dan perbuatan kita termasuk keadilan praktis. Keadilan aktual dapat pula dibagi dua, berdasarkan sasarannya;
Keadilan subjektif.
Yaitu perbuatan sempurna terhadap diri sendiri. Menurut para irfan nazhari, seseorang yang melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh adalah orang yang berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Ia disebut adil karena memeperlakukan dirinya secara proporsional dan baik. Semua perbuatan baik, berdimensi legal dan berdimensi moral, adalah keadilan terhadap diri (pelaku sendiri). Seseorang yang berlaku dan bersikap adil terhadap diri akan berpeluang untuk berlaku adil terhadap selain dirinya.
Keadilan objektif.
Yaitu perbuatan sempurna terhadap selain diri sendiri. Segala sesuatu di luar subjek atau diri kita masing-masing adalah alam yang dapat dibagi berdasarkan entitas-entitas (maujud-maujud) yang ada di dalamnya. Ia dapat dibagi sebagai berikut:
ü Berlaku adil terhadap benda-benda molekuler, berupa air, batu dan gas atau oksigen, dengan cara tidak mencemari udara, tidak merusak sarana umum, tidak memproduksi peralatan berbahaya, senjata nuklir, kimia, bakteri dan sebagainya.
ü Berlaku adil terhadap benda-benda berkembang, seperti rumput, pohon, buah dan rumput, dengan cara tidak melakukan penebangan liar, penggundulan hutan yang merupakan paku alam, merawat bunga dan sebagainya.
ü 3Berlaku adil terhadap benda-benda berperasaan, dengan cara tidak melakukan perburuan liar, melindungi satwa langka dari kepunahan, tidak menggunakan alat pembunuh massal seperti bom untuk menangkap ikan, dan tidak membunuh binatang hanya untuk kesenangan dan hobi dan sebagainya sebagainya.
ü Berlaku adil terhadap manusia, yang lazim disebut dengan keadilan sosial, dengan cara setiap anggota masyarakat melaksanakan kewajiban individual serta menjaga hak sesama dengan mematuhi syareat Allah SWT.
Sebenarnya keadilan objektif sosial dapat dibagi berdasarkan tingkatan himpunannya sebagai berikut :
· Keadilan sosial dalam rumah tangga, seperti antara suami dan isteri, orang tua dan anak, antar orang tua dan antar anak sendiri;
· Keadilan sosial dalam lingkungan kerja atau pabrik atau perusahaan, seperti antara majikan dan buruh, antara pimpinan dan pegawai, antar atasan dengan yang di bawahnya dan antar pegawai atau buruh sendiri;
· Keadilan sosial dalam pemerintahan, seperti antara penguasa dan rakyat, antar pejabat tinggi dan yang di bawahnya, antar pejabat tinggi dan antar pegawai pemerintah sendiri, antar sesama individu rakyat sendiri.
Apabila kita telah berlaku adil dalam segala dimensinya, maka peluang kita untuk meraih pengetahuan emosional, yang merupakan puncak dari kesusksesan hakiki manusia, makin lebar. Apabila masing-masing dari individu masyarakat tidak berlaku adil, maka ‘keadilan sosial’ hanyalah sebuah jargon yang tidak akan pernah dapat dirasakan.
Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan al-Qur'an agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesame warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya. Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing.
Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau sisi keadilan oleh al-Qur'an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural.
Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu, Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur'an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah legal-formalistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar